Saturday, June 09, 2007

Diam

Ketika kita membicarakan tentang elemen liturgikal, jarang kita memahami bahwa "diam" (silent) termasuk salah satu elemen. Apalagi dalam gaya ibadah kontemporer, elemen "diam" menjadi barang asing dan terasa tidak pas untuk keseluruhan model ibadah yang mengutamakan aliran (flow). Bagi penganut gaya ibadah kontemporer, elemen "diam" dapat menganggu jalannya aliran ibadah.

Dunia modern yang mengagungkan kecepatan, kesibukan dan hiburan juga turut menyumbangkan pengaruh kepada sikap kita terhadap "diam". Orang modern tidak suka dan tidak tahan terhadap "diam". Bagi mereka, "diam" adalah tidak produktif, pasif dan membosankan. Kita terlalu terbiasa dengan kebisingan dan kesibukan, sehingga kita tidak lagi menghargai "diam". Bahkan kita cenderung alergi terhadap "diam".

Kita tahu tentang gegap gempitanya suasana surgawi yang digambarkan oleh kitab Wahyu. Pujian dan sorak-sorai orang kudus bersama malaikat memenuhi tahta Allah. Namun, Wahyu 8:1 mencatat peristiwa yang berbeda, "Dan ketika Anak Domba itu membuka meterai yang ketujuh, maka sunyi senyaplah di sorga, kira-kira setengah jam lamanya." Dahsyat! Seluruh gegap gempita surut dan seluruh makhluk masuk dalam keheningan yang total di hadapan hadirat Allah. Ternyata "diam" menjadi elemen liturgikal dalam liturgi surgawi! Perjanjian Lama pun mencatat betapa pentingnya "diam" ketika umat Allah beribadah di hadapan-Nya (Hab 2:20; Zef 1:7-8, 15-18; Zak 2:13).

Apa makna "diam" sebenarnya dalam liturgi? Maknanya dapat kita temui dalam pasal yang sama kitab Wahyu pada ayat 3, "Maka datanglah seorang malaikat lain, dan ia pergi berdiri dekat mezbah dengan sebuah pedupaan emas. Dan kepadanya diberikan banyak kemenyan untuk dipersembahkannya bersama-sama dengan doa semua orang kudus..." "Diam" tidak pernah berhenti sebagai sebuah kepasifan. "Diam" adalah momen liturgikal yang penting. Ini adalah momen bagi kita untuk terhenyak masuk dalam relung hati kita yang paling dalam dan intim dengan Allah, untuk menyampaikan doa kepada-Nya. "Diam" sangat bermanfaat untuk membangun dan mempertahankan sikap kekaguman terhadap Allah.

"Diam" dapat dimasukkan dalam liturgi terutama sebelum ibadah, sebelum/sesudah khotbah dan saat perjamuan kudus. Dengan "diam" kita memiliki kesempatan paling luas dan leluasa (karena bebas dari gangguan) untuk meresponi Allah dalam ruang hati kita dengan keseluruhan hati kita yang paling murni.

6 comments:

Anonymous said...

halo. met kenal Om.
mau kasi komen aja. Memang bener, di ibadah kontemporer diam itu jadi satu hal yang "salah" dan bikin orang "salah tingkah". Tapi sebenernya di dalam diam, kita bisa menemukan Dia. (:

Cheers,
Jessica

Jimmy Setiawan said...

Hai Jessica....

Thanks untuk komentarnya. Walau kita lihat bahwa "diam" dapat menjadi elemen liturgikal yang penting, namun sebagaimana kekuatiran saya di posting, tidak mudah bagi orang modern untuk menghayati kedalaman elemen ini. Kita perlu mendidik jemaat.

Anonymous said...

syalom, pak!
saya veronica.

saya setuju dengan kata Bapak tentang gaya ibadah kontemporer(masa sekarang) yang sudah melupakan kata "berdiam dalam Dia"

Namun tidakkah ibadah yang BApak maksudkan diatas adalah ibadah kita kepada Tuhan secara pribadi? (atau saat teduh)

sekian pak Terimakasih.

Jimmy Setiawan said...

Elemen diam bisa masuk baik dalam personal devotion atau ibadah korporat. Contoh dalam ibadah korporat adalah ketika sebelum atau sesudah Khotbah. Dengan berdiam, kita dapat secara personal berinteraksi dengan Firman Tuhan. Masing-masing orang bisa berbeda dalam menangkap "rhema" FT yang disampaikan walau pengkhotbahnya sama.

Anonymous said...

Good words.

Anonymous said...

Thanks banget Pak!!

God bless you!!