Sunday, May 13, 2007

Merayakan Hari Ibu Dalam Kebaktian? Sebuah Pertanyaan tentang Solidaritas


Hari ini, seluruh dunia merayakan hari ibu. Di gereja saya, kami juga merayakannya dengan cara memberikan suvenir kepada para ibu. Pada saat kebaktian, liturgis akan meminta para ibu untuk berdiri. Kemudian, anak-anak Sekolah Minggu yang manis akan menghampiri satu per satu untuk menyerahkan suvenir. Tradisi ini sudah berlangsung bertahun-tahun di gereja saya. Tentu saja, saya mendukung segala niat luhur untuk merayakan peran ibu di hari yang istimewa ini. Saya pun memberikan tanda cinta kepada mami saya pada hari ibu sedunia.

Namun, ditinjau dari aspek pastoral ibadah, apakah acara ini tidak menjadi "sandungan" bagi para wanita yang sulit memiliki anak? Betapa pesan penghargaan terhadap para ibu yang telah melahirkan dan membesarkan anak mereka akan berbeda di telinga seorang wanita yang bertahun-tahun menantikan anak tapi tidak pernah "dianugerahi" satu pun. Saya membayangkan, seorang wanita yang setiap hari berdoa - tidak terhitung berapa kali dia marah, menangis, dan kecewa terhadap Tuhan karena sekian lama hidup tanpa kehadiran satu orangpun anak - menyaksikan para ibu lainnya yang lebih "beruntung" diberikan hadiah.

Seseorang mungkin memprotes saya: "Jim, itu salah wanita tersebut kalau sampai dia marah dan kecewa. Maksud kami kan baik dalam menyatakan penghargaan kepada kebanyakan ibu lainnya yang telah bersusah payah mengasuh anak-anak mereka." Persoalannya, pertanyaan saya adalah pertanyaan pastoral. Pertanyaan pastoral selalu dimulai dari apakah kita cukup peka terhadap mereka yang "lain", yang marginal, yang lebih "tidak beruntung"? Apakah kita cukup memberikan ruang di hati kita untuk memikirkan orang lain yang mungkin membaca dan menerima perayaan hari ibu sebagai "tamparan"?

Atau mari bayangkan kasus lain dimana seorang jemaat yang tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Mungkin karena sang ibu sudah terlebih dahulu wafat. Atau, ibunya menganiaya dia sejak kecil. Bagaimana mereka melihat acara perayaan hari ibu di atas?


Saya sendiri berpendapat bahwa lebih baik kita tidak terlalu berlebihan dalam merayakan hari ibu dalam kebaktian. Atau beberapa kalimat dari mimbar yang
addressing kenyataan adanya ibu-ibu (dan anak) yang tidak beruntung, mungkin akan sangat membantu. Setidaknya, menunjukkan kepekaan kita terhadap mereka.

Lebih baik Sekolah Minggu mengajarkan murid-murid mereka untuk menyatakan cinta kepada ibu mereka di rumah masing-masing, ketimbang secara publik memberikan suvenir di dalam kebaktian.

5 comments:

Agus B. Sadewa said...

hi, jim,

ini article pas banget buat gw. kemarin, kebaktian di gereja gw juga dibuat (seperti didedikasikan) untuk mothers. tapi concern gw ttg mother's day dlm ibadah agak beda. gw tdk terlalu mempersoalkan (gw tdk menyadarinya) bahwa perayaan tsb bisa discourage mereka yg tdk bisa punya anak atau sudah lama menantikan anak. sebab setiap org punya ibu, jim. kecuali, ini yg sulit, ia anak adopsi, dan sampai sekrg tidak tahu dimana ibunya. dlm kebaktian gw mengajak jemaat untuk mensyukuri pemberian ibu atas kehidupan kita. concern gw ttg perayaan mother's day dalam ibadah lebih karena perayaan ini bertepatan dengan easter sunday keenam. suasana ibadah masih suasana paska. gimana menghayati mother's day dan paska bersama-sama? jangan sampai pesan mother's day mengaburkan atau menutupi pesan dan suasana paska.

SoulfulSinger said...

Halo...
Minggu kemarin saya ke Southeast Christian church, dan dalam ibadah Mother's day itu pendeta nya berikan encouragement buat mereka yg blm dikaruniakan anak, keguguran, dan bahkan utk yang yatim piatu...
Tetapi langsung atau tidak langsung setiap individu itu kan punya seorang Ibu atau seseorang yg dianggap seperti Ibu sendiri... so.. sah - sah aja untuk mensyukuri berkat itu toh!

Jimmy Setiawan said...

Hai...
Sebagaimana judul postingannya, point saya adalah kita mesti pertimbangkan bagaimana supaya acara perayaan hari ibu di kebaktian tidak menjadi sesuatu yang menyedihkan bagi mereka yang tidak beruntung. Saya sama sekali tidak keberatan dengan merayakan hari ibu secara general =0)

Anonymous said...

hi, saya mengunjungi blog ini lewat teman saya Zion. di gereja Hari Ibu juga dirayakan, prosesinya sama spt di gereja anda. tapi bedanya, karangan bunga/suvenir diberikan kepada SEMUA WANITA YG TELAH MENIKAH.

so what do u think??

Jimmy Setiawan said...

Hai Bradley. Salam kenal. Masalah pastoral adalah masalah kepekaan dan kebijaksanaan. Saya pribadi tetap merasa yang ideal adalah Hari Ibu tidak perlu ada pemberian gift apapun di dalam kebaktian. Tapi ini bukan soal salah dan benar. Tulisan saya sekedar menerbitkan ruang di hati kita untuk turut memikirkan keseluruhan jemaat.